Budaya Minang Bak Hilang Dimakan Zaman

Minangkabau adalah suku asli yang berasal dari Sumatera Barat. Suku ini terkenal dengan adat dan budayanya yang kental. Seperti salah satu pepatah Minang yang terkenal, yaitu “Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah,” artinya orang yang tidak beradab sama saja dengan orang yang tidak beragama dalam masyarakat Minang. Oleh karena itu, tidak heran jika masyarakat Minang sangat menjunjung tinggi adat dan budaya yang sudah turun temurun dari nenek moyang.

Minangkabau adalah suku yang menganut sistem matrilineal. Artinya setiap anak yang lahir baik laki-laki maupun perempuan secara langsung akan menjadi anggota keluarga suku ibu. Dengan kata lain garis keturunan ditarik berdasarkan keluarga ibu.

Anak-anak dari kecil sudah dikenalkan dengan adat dan budaya Minang. Misalnya, anak laki-laki menjadikan surau (mesjid) sebagai tempat belajar mengaji, diskusi, mencari dan menuntut ilmu. Disana mereka juga diajarkan ilmu bela diri khas Minang yaitu silek (silat). Bahkan tak jarang mereka juga tidur di surau.

(Sumber ; aktual.com)

Tapi, kebiasaan seperti ini sudah sangat jarang kita jumpai. Sekarang ini lebih mudah dijumpai anak laki-laki bermain di warung internet. Tak jarang dari mereka yang sudah kecanduan hingga lupa akan kewajiban mereka sebagai seorang anak.

Dalam hal ini, peran orang tua sangat dibutuhkan. Bagaimanapun perkembangan zaman, tetap saja budaya dan adat Minang harus tetap kita jaga. Memberikan pemahaman kepada anak-anak bahwa kebiasaan ke surau juga sangat menyenangkan bila dilakukan. Selain bisa mendapatkan banyak ilmu, mereka juga tetap bisa bermain bersama teman-teman.

Minangkabau juga terkenal dengan Rumah Gadang. Rumah yang memiliki atap bagonjong (bergonjong) ini terdiri atas sembilan ruang dengan fungsi yang berbeda-beda. Di halamannya terdapat rangkiang untuk menyimpan beras, dan baru diambil ketika ada sanak-saudara yang membutuhkan. Fungsi sosial dan ekonomi sangat terlihat jelas disini.

(Sumber : alampedia.com)

Namun, setelah penulis amati, Rumah Gadang sudah beralih fungsi. Tidak lagi menjadikannya sebagai rumah, melainkan hanya sebagai tempat pertemuan atau tempat untuk menyelesaikan masalah. Masyarakat Minang sendiri lebih memilih untuk membangun rumah dengan design modern. Selain itu, penulis juga melihat ada Rumah Gadang yang sudah tidak terurus. Dibiarkan begitu saja, hingga lapuk dan roboh dengan sendirinya.

Untuk hal ini, siapa yang harus disalahkan? Tokoh-tokoh adat, niniak mamak, hingga masyarakat Minang sendiri seakan melepaskan Rumah Gadang hingga termakan zaman. Generasi sekarang bahkan sudah jarang yang menginjakkan kaki di Rumah Gadang. Akibatnya tidak banyak yang mengenal fungsi dari Rumah Gadang itu sendiri.

Seharusnya peran tokoh-tokoh adat sangat dibutuhkan untuk menghidupkan Rumah Gadang kembali. Sebenarnya jika Rumah Gadang sudah beralih fungsi itu tidak masalah, tapi yang jadi masalah adalah, generasi sekarang tidak pernah kenal dan merasakan bagaimana fungsi dari Rumah Gadang itu sendiri.

Begitu juga dengan Rumah Gadang yang dibiarkan lapuk dan tak lagi digunakan sama sekali. Padahal sebenarnya bisa direnovasi oleh masyarakat suku pemilik Rumah Gadang. Jika terkendala masalah dana, sudah dianjurkan oleh nenek moyang untuk memakai harato pusako (harta pusaka) untuk memperbaikinya. Dalam hal ini, peran para tetua di Minangkabau sangat dibutuhkan dalam menghidupkan dan memberi warna lagi pada Rumah Gadang.

Kesenian daerah Minangkabau yang juga terkenal adalah Randai. Tarian yang memiliki jalan cerita ini biasanya dimainkan oleh 6-10 orang. Dahulu pertunjukan Randai ini rutin diadakan, entah itu saat ada kegiatan seni, atau hanya sekedar untuk pertunjukan randai saja. Biasanya, Randai dilangsungkan pada malam hari dengan tujuan agar penonton khusyuk mendengar kaba (cerita) yang dimainkan.

(Sumber : kabaranah.com)

Tapi, sekarang ini Randai sudah jarang sekali dipertunjukkan. Jikapun itu dipertunjukkan, kebanyakan hanya dimainkan oleh orang-orang tua. Tidak banyak lagi anak muda yang pandai bermain Randai. Bisa dikatakan bahwa pada zaman era globalisasi ini, randai kalah bersaing dengan permainan anak modern, seperti band, dance, dan tarian-tarian modern lainnya.

Kita sebenarnya punya jalan keluar untuk mengatasi masalah ini. Dahulu, ketika penulis berada di sekolah dasar, ada satu mata pelajaran yaitu BAM (Budaya Alam Minangkabau). Pelajaran ini mengajarkan secara keseluruhan apa saja budaya yang terdapat di Minang. Tidak hanya sebatas belajar saja, kita juga dituntun untuk melakukan praktek tentang apa yang kita pelajari.

Peran pendidik sangat dibutuhkan dalam hal ini, mengajarkan kepada generasi muda tentang Randai, bagaimana cara memainkannya, hingga pelajaran apa yang dapat diambil dari permainan tersebut.

Jika dulu BAM adalah salah satu mata pelajaran wajib selama SD hingga SMA. Kini BAM hanya dijadikan mata pelajaran tambahan atau muatan lokal saja. Sehingga pelajaran tentang budaya Minang tidak lagi didapatkan secara mendalam. Bahkan untuk tingkat SMA, pelajaran BAM sudah dihapuskan. Oleh karena itu, peran para pendidik dan dinas terkait di Sumatera Barat sangat dibutuhkan agar Randai dapat menjadi kesenian yang bisa dimainkan lagi oleh generasi muda saat ini.

Selain permasalahan belajar di surau, Rumah Gadang, hingga Randai yang sudah penulis jabarkan di atas. Ada satu lagi masalah yang sekiranya patut untuk penulis kemukakan, yaitu baju kuruang (kurung). Baju kuruang merupakan baju khas yang digunakan oleh gadis Minang. Bentuknya tidak transparan, longgar, tertutup dari leher hingga mata kaki, dan dilengkapi dengan salendang (penutup kepala).

(Sumber: kemendikbud.co.id)

Dikaitkan dengan zaman sekarang, jangankan generasi muda, perempuan dewasa pun kini telah jarang dijumpai memakai baju kuruang. Hanya terkadang nenek-nenek yang akan pergi pengajian menggunakan baju kuruang tersebut. Baju kuruang dianggap kuno, jauh dari kata fashionable, sehingga banyak kalangan terutama perempuan menilai hal tersebut tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Menurut pendapat penulis, hal ini tidak benar. Baju kuruang sama halnya dengan baju muslimah. Hal ini merupakan akulturasi budaya Minang dengan ajaran Islam. Bahwa perempuan Minang tidak boleh memakai pakaian yang ketat dan transparan. Oleh sebab itu dianjurkanlah untuk memakai baju kuruang.

Jika alasannya adalah model baju kuruang yang dianggap terlalu kuno, bisa saja dimodifikasi agar menyesuaikan zaman, tetapi tetap pada aturan awalnya yaitu harus longgar, tidak transparan, dan menutupi aurat. Peran dari bundo kanduang (wanita yang dituakan di Minang) sangat dibutuhkan disini. Setidaknya untuk acara-acara adat, gadis Minang masih mau mengenakan baju kuruang, agar budaya ini tidak benar-benar hilang.

Sudah selayaknya, kita sebagai masyarakat Minang, mempertahankan nilai budaya kita sendiri. Jangan pernah malu dengan budaya yang sudah diturunkan oleh nenek moyang kita terdahulu. Beberapa budaya Minang yang sudah penulis sebutkan tadi, telah mulai pudar dan terancam hilang. Untuk menghindari hal ini, peran dari pemerintah, tokoh-tokoh adat, para pendidik, dinas terkait, hingga generasi muda sangat dibutuhkan agar budaya Minang yang kental dan kokoh bisa kita pertahankan.

Tidak masalah jika kita mengikuti perkembangan zaman. Tapi yang masalah adalah, ketika kita mengikuti perkembangan zaman, kita melupakan dan meninggalkan budaya asli kita sendiri. Sebagai penutup dari tulisan ini, penulis ingin menyampaikan sebuah pepatah minang, yaitu Bapuntuang suluah sia, baka upeh racun sayak batabuang, paluak pangku Adat nan kaka, kalangik tuah malambuang”. Maknanya adalah, jika ajaran adat dan budaya Minangkabau benar-benar dapat diamalkan oleh masyarakatnya, maka masyarakat itu akan menjadi masyarakat yang tinggi peradabannya dan dipandang oleh masyarakat lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kedai Wahidin, Tawarkan Cita Rasa Kopi Kawa di Ibu Kota Sambil Belajar Budaya

Pembajakan Hasil Karya Anak Negeri, di Negeri Sendiri

Dan Bandung Bagi Kami, Singkat tapi Berarti