Bersyukur adalah Cara Jadikan Dunia Gelap tapi Penuh Warna
(Suasana
rumah Joni dan Nunung, pasangan penyandang tunanetra)
|
Dunia menjadi gelap,
kenyataan itu harus diterima oleh penyandang tunanetra. Beban tersebut kadang
juga bertambah dengan pandangan dan perlakuan masyarakat terhadap mereka. Tapi,
mereka punya cara untuk terus bertahan hidup, tanpa bergantung pada orang lain
terus-menerus.
Walaupun sulit, 2 mata
yang tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya sekarang digantikan oleh 2
indera yang luar bisa membantu mereka, yaitu rabaan dan suara. Kedua indera
itulah yang menjadi alat utama agar mereka bisa bertahan ditengah orang-orang
yang boleh dikatakan memiliki fisik yang sempurna.
Adalah Joni (42) dan
Nunung (38), sepasang suami istri
penyandang tuna netra sejak lahir yang berasal dari Surabaya namun memilih
merantau ke Jakarta. Awalnya, keduanya bertemu di Lembaga Pemberdayaan
Tunanetra (LPT) di Surabaya.
“Ketemunya di LPT
Surabaya tahun 2000, saya udah duluan gabung di LPT, baru kemudian istri saya
masuk,” ujar Joni ketika ditanya kapan pertama kali mereka bertemu.
Peran
LPT dalam Membantu Mereka
Lembaga Pemberdayaan
Tunanetra (LPT) adalah sebuah lembaga yang menjadi wadah bagi penyandang
tunanetra di Surabaya untuk terus belajar dan berlatih meningkatkan kemampuan
mereka.
“Di LPT itu kita
dilatih buat memakai tongkat dengan benar, cara berjalan di tempat umum, cara nyebrang jalan, naik angkot dan kegiatan
sehari-hari biar kita juga bisa mandiri,” jelas Nunung menambahkan.
Tidak dipungkiri,
keterbatasan yang mereka miliki, secara sosial membuat mereka kurang mendapat
tempat di masyarakat. Oleh sebab itu, Joni dan Nunung senang dengan adanya LPT
ini, mereka bisa belajar banyak hal agar bisa diterima di masyarakat tanpa
harus menjadi beban bagi orang lain.
Selang beberapa bulan
setelah berkenalan di LPT, Joni akhirnya memutuskan untuk menikahi Nunung.
Kehidupan ekonomi masing-masing keluarga yang saat itu juga kurang baik membuat
banyak hambatan yang harus mereka lalui.
“Waktu mau nikah nggak gampang, keluarga nggak ada yang percaya kalau kita bisa
menjalani hidup nantinya dengan baik, selain itu uang juga jadi masalah, karena
kita sama-sama bukan dari keluarga yang berada,” ujar Joni.
Meyakinkan kedua
keluarga dan orang-orang sekitar untuk percaya bahwa mereka juga bisa menjalani
kehidupan dengan baik pada saat itu, bukan perkara mudah hingga akhirnya mereka
mendapatkan jalan untuk menikah lalu memutuskan untuk pindah dan mencari
penghidupan ke Jakarta.
Mata
Pencarian untuk Mata Kehidupan
Keputusan untuk
merantau ke Jakarta tentunya sudah dipikirkan dengan matang oleh mereka. Memulai
semua dari awal, berbekal tabungan yang mereka punya, perlahan-lahan berbagai
cara mereka lakukan agar bisa terus memenuhi kebutuhan.
“Awalnya nyari tempat
tinggal, di kost-kost an kecil, biaya sewanya waktu itu Rp 400.000 per bulan,
nyari kerja dari tukang pijit panggilan, bantu-bantu nyuci pakaian tetangga,
pernah coba jualan nasi uduk juga sebentar, dan sekarang jualan kerupuk
keliling,” jelas Nunung.
Kehidupan memang
terkadang tak selalu berjalan sesuai harapan, kenyataannya memang roda terus
berputar, dan kita hanya tinggal berusaha agar tetap bisa bertahan.
“Dulu sering banget
minta pinjaman ke tetangga dan warung biar bisa makan, nggak jarang juga ditolak dan ditagihin terus karena telat bayar,
berkali-kali pindah dari kost an ini ke kost an itu,” lanjut Joni menyambung
pembicaraan Nunung.
Hingga akhirnya, sudah
4 tahun terakhir ini, mereka berjualan kerupuk keliling. Kerupuk tersebut
diambil langsung dari pabrik rumahan yang lokasi nya tidak jauh dengan tempat
tinggal mereka, yaitu di Menteng Atas, Jakarta Selatan.
“Kalau niatnya baik dan
mau usaha, jalannya pasti ada terus. Waktu nawarin mau jualan kerupuk keliling,
juragannya sempat nolak karena nggak
percaya, tapi saya yakinkan terus kalau kita bisa. Alhamdulillahnya sekarang
selalu ada rezeki lewat jualan kerupuk keliling ini,” jelas Joni.
Berjualan kerupuk
keliling dari siang hari hingga malam, mengelilingi daerah Menteng Atas,
Kuningan, Tebet, hingga terkadang ke pasar-pasar ternyata menjadi pintu rezeki
untuk mereka.
“Alhamdulillah, sehari
bisa dapat Rp80.000 hingga Rp 120.000, juragan saya juga baik, nggak matokin harus setor berapa, selaku nya aja,” lanjut Nunung.
Tentunya ada hal-hal
yang tidak diharapkan terjadi saat mereka mencari rezeki. Mengharapkan kejujuran
orang-orang yang membeli dagangan mereka tidaklah mudah.
“Pernah ada yang ngasi
uang nggak sesuai sama harga, ada
juga yang minta kembalian lebih, ya banyaklah kejadiannya, kita percaya aja kalau rezeki pasti nggak akan
kemana, udah ada yang ngatur, kata Joni.
Anak
adalah Rezeki yang Tak Ternilai
(Titipan
luar biasa adalah Felis, anak pertama yang tumbuh dengan sempurna)
|
Menjadi pasangan
penyandang tunanetra, bukan berarti mereka harus mengubur impian untuk
mempunyai keturunan. Walaupun ada beberapa kecemasan yang terlintas bagaimana
cara membesarkan sang buah hati nanti, tapi mereka tetap percaya, bahwa
semuanya sudah ada jalannya.
“2010 saya melahirkan
anak pertama, dan Alhamudillah dapatnya perempuan, saat itu kita benar-benar
tak berhenti bersyukur karena Allah menitipkan kita anak yang benar-benar
sempurna, tanpa ada kekurangan apapun,” kata Nunung.
Tapi, kehidupan setelah
mempunyai anak, tak selalu berjalan sesuai apa yang mereka harapkan, faktor
ekonomi membuat mereka kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sang anak. Akhirnya,
untuk sementara mereka menitipkan sang anak ke nenek dan kakeknya di kampung
halaman, yaitu Surabaya.
“Waktu itu udah nggak
ada pilihan lain selain nitipin Felis (nama anak Joni dan Nunung) ke neneknya
di kampung, biar kebutuhannya bisa tercukupi, setelah itu kita benar-benar
kerja keras biar bisa bawa Felis lagi kesini,” kata Joni melanjutkan.
Pada saat Felis berusia 2 tahun, akhirnya tabungan mereka sudah terkumpul dan bisa menjemput Felis untuk tinggal bersama mereka lagi.
“Ibunya Felis menangis
setiap malam karena kangen sama Felis katanya, pas dia umur 2 tahun kita jemput
ke Surabaya, dan saat itu Alhamdulillah rezeki kita mulai membaik, mungkin itu
rezekinya Felis,” lanjut Joni.
Membesarkan anak dengan
keterbatasan yang mereka miliki tentunya adalah pilihan. Berharap Felis bisa
tumbuh seperti anak-anak lainnya.
“Setiap hari itu kita
selalu bilang ke Felis untuk selalu bersyukur dan rendah hati, dan Allah
benar-benar baik, Felis nggak pernah mengeluh dan minta yang macam-macam,” ujar
Nunung.
Beberapa waktu terakhir
ini, Felis ikut membantu Joni dan Nunung untuk berjualan kerupuk keliling. Ia
mengarahkan ayah dan ibunya menyisir jalanan.
“Kalau mau keliling,
Felis selalu pengen ikut, katanya biar ayah sama ibunya nggak kesasar, dia ngarahin kita jalan, padahal sering disuruh
untuk main sama tetangga aja, tapi dia nggak
mau,” lanjut
Nunung menceritakan Felis dengan bangga.
Sekarang, Felis tidak
sendiri, ia memiliki seorang adik. Nunung baru saja melahirkan bayi laki-laki 1
bulan yang lalu. Untuk beberapa saat Nunung tidak berjualan kerupuk keliling
dulu.
Bersyukur
adalah Kunci Kebahagiaan
Menurut mereka,
anugerah yang diberikan Sang Pencipta kepada mereka hingga saat ini, sangat
luar biasa.Tak ada yang berbeda, dunia tetap berwarna walau mereka tak dapat
melihat.
“Kami hidup normal,
sama seperti kalian, bedanya mungkin ya kami nggak bisa melihat, tapi sisanya,
kami sama seperti kalian,” kata Joni.
Tanpa henti mengucap
syukur atas apa yang diberikan Allah untuk mereka, adalah kunci mengapa mereka
bisa bertahan hingga saat ini.
“Bersyukur aja, masih
ada yang keadaannya dibawah. Kami punya rumah kecil, tetap bersyukur, karena
ada orang yang nggak punya rumah. Kami
makan pakai sayur aja, tetap bersyukur, karena banyak orang-orang yang nggak bisa makan. Allah sudah atur
sebaik mungkin, ya kita tinggal jalani dan usaha kan,” ujar Nunung.
Mereka mendefinisikan
kebahagian dengan begitu sederhana, mengucap syukur atas apa yang mereka
peroleh adalah kuncinya.
“Allah nggak akan kasi cobaan melebihi
kemampuan hamba-Nya, mau keadaannya gimana pun, kita harus percaya kalau kita
bisa menghadapinya, biar kita makin kuat dan tegar juga kedepannya,” jelas
Nunung.
Komentar
Posting Komentar